Rabu, 03 Januari 2018

ROKOK : dalam persepsi budaya

Rokok, merek dan jenis apapun juga kretek sudah jadi bagian hidup bangsa kita, sejak kita belum menjadi Indonesia modern. Bagian hidup hidup bukan sekedar gaya hidup. Rokok dengan kita merupakan hubungan psikologis yang sangat sulit dipisahkan karena ada jenis “ketergantungan”.
Bagi para perokok “sejati” ketergantungan itu menyebabkan yang bersangkutan bisa lebih memilih sehari tidak makan apa-apa ,tetapi mustahil untuk tidak merokok. Pun dalam bulan-bulan Puasa,mereka ini menanti tibanya saat berbuka atau menikmati sahur demi memuaskan rasa untuk merokok  ,bukan karena kelaparan dan menanti kesempatan makan.
Pada tataran kelompok secara sosial rokok menjadi sarana komuikasi, dan jembatan perkenalan dengan orang baru di dalam perjamuan,di dalam rapat-rapat raksasa. Disana kita mudah saling bertukar rokok untuk perkenalan lebih jauh. Bagi mereka yang sudah saling mengenal dengan baik rokok menjadi tali peneguh silaturahmi dan solidaritas sosial. Secara spiritual rokok memiliki fungsi lebih dalam lagi antara lain menjadi bagian dari kelengkapan sesaji.

Roro mendut dan rokok

Kisah klasik Roro  mendut dan warung rokoknya di pasar Anyar dalam wilayah Katumenggungan Wirogunan memberi kita kesan romantis , Para pembeli yang gandrung memandang kecantikan si penjual rokok  dan memilih “membeli puntung “ yang artinya makin pendek puntung itu makin dekat pula ke bibir Roro Mendut  yang harganya tinggi.
Roro Mendut ,Putri boyongan dari Kadipaten Pati ,yang menolak diperistri Tumenggung Wiraguna,yang sudah terlalu tua. Penolakan itu yang membuat Sang
Tumenggung marah dan membebankan pajak yang sangat tinggi kepada Roro Mendut. Dari ini dibukalah pasar anyar ,dimana Roro Mendut boleh berjualan rokok untuk membayar pajak tadi.
Kisah ini terjadi di zaman Sultan Agung di Mataram, yang berkuasa antara tahun 1613-1645. Ditahun itu rokok menjadi komoditi dan kita memperoleh kesan warung rokok Roro Mendut sukses besar. Ini terjadi karena merokok sudah menjadi darah daging di dalam masyarakat. Dalam lakon itu tergambar bahwa demi
rokok orang rela menjual lembu,dan apa saja . ada kesan bahawa merokok sudah menjadi candu  mendalam bagi sebagian orang.


Dunia Anak-anak dan Rokok

Anak-anak kampung “nglecis’ meniru orang dewasa. Proses peniruan ini berjalan tanpa kontrol karena anak-anak ini tidak bersekolah, mereka anak-anak yang  “ingin” cepat dewasa.
Mereka membeli tembakau /mbako. Mungkin  mbako Virginia yang dianggap  terbaik, adapula mbako Kedu dan dalam keadaan terpaksa mbako semprul (rontokan-rontokan tembakau) yang baunya sengak pun dirokok juga. Selain dipasar tembakau pun dijual di warung warung desa. Penjual tembakau melengkapinya dengan kertas/dluwang cap Noyorono ,klembak dan aluar uwur.
Pun kelengkapannya klembak menyan ,yang baunya menyengat dan konon bisa mengundang demit-demit dan lelembut. Biarpun masih kanak-kanak gerak-gerik mereka dalam urusan rokok sangat professional seperti : nglinting rokok dengan cekatan,nyuwi klembak dengan lihai dan artistic serta menyulunya dengan rek jres  nyaris selihai orang tua. Bahkan saat kertas Noyorono tak ada  mereka menggunakan klobot, ini semua tingwe (nglinting dewe) karena anak-anak kampung tak mampu membeli rokok buatan pabrik.



Orang Dewasa dan Rokok

Orang dewas menjadikan rokok penguat ikatan pergaulan dan peneguh solidaritas social. Mustahil orang meminta uang kepada orang lain tapi meminta rokok menjadi suatau kelaziman dan bukan suatu cela. Ketika dibeber di meja dan di tikar tempat pertemuan lalu menjadi domain umum, kesadaran miliku milikmu juga, milik kita bersama tak usah lagi didalilkan dengan kata-kata tapi dilaksananakan dalam tradisa yang terbuka,berkelanjutan hingga kini.
Dulu perokok dewasa di kampung tak selalu membeli rokok sendiri. Membeli rokok  merupakan urusan para istri. Setelah Sang istri menjual hasil bumi di Pasar desa. Sang istri bisa saja tidak membelikan oleh-oleh berupa makanan atau sejenisnya, tetapi menjadi kewajiban bahwa Sang istri harus membelikan rokok atau tembakau dan segenap kelengkapanya tadi untuk sang suami.


Ritus, Kepercayaan dan Rokok

Kenapa dimasyarakat kita ada kata pemanis “uang rokok”  ketika kata itu disebutkan distu tersirat dua hal yang saling bertolak belakang yaitu ; sesudah suatu kerja sama  atau sesudah pelaksanaan gotong royong.
Tapi dewasa ini kelangsungan tradisi itu pelan-pelan  tanpa kata “uang rokok’ watak gotong royong dan ketersediaan saling membantu makin surut dan pudar.
Dalam ritus  “agamis” atau yang berhubungan dengan kepercayaan rokok tetap memainkan peranan penting,tak jarang dilengkapi pula dengan segelas kopi pahit selain perlengkapan-perlengkapan lain yang tak boleh diabaikan.


SEJARAH ROKOK DI NUSANTARA

Sinolog Belanda Prof. Gustaaf Schlegel punya teori, tanaman rokok bukan lah tanaman asli Indonesia, sebagai bukti dia menunjuk pemakaian istilah tembakau yang berasal dari istilah orang Portugis tabaco atau tumbaco ketimbang istilah orang Belanda tabak.  Dari kenyataan itu diua berpendapat bahawa orang  Portugislah yang memasukan tembakau ke Nusantara pada awal abad ke17. Yang pada saat itu tembakau digunakan untuk teman makan sirih yang masyarakat Jawa menyebutnya mbako susur. Kehadiran tembakau justru menjadi dampak yang bertolak belakang disatu sisi digunakan untuk teman makan sirih dan di lain sisi  justru menghentikan kebiasaan makan sirih dan berganti dengan merokok.
Tembakau yang di pakai masyarakat jawa  untuk merokok pada waktu itu berasal dari berbagai daerah termasuk daerah Kedu. Tembakau kedu  sejak lama sangat terkenal karena mutunya.
Orang Belanda memakai tembakau Kedu uuntuk bahan pipa mereka. Pada abad 19 mereka hanya  mengenal dua cara utama menikmati rokok yakni menghisap pipa dan cerutu. Mereka menyebut menghisap pipa dan cerutu dengan istilah “een pijp ro’ken (menghisap sebuah pipa) dari perkataan  ro’ken inilah muncul perkataan “rokok “oleh masyarakat pribumi pada akhir abad ke 19.

ROKOK  KRETEK

Yakni campuran tembakau dengan cengkeh, awalnya digunakan sebagai obat sesak napas oleh penemunya yaitu Haji Jamhari  pada akhir abad ke 19. Karena temuan ini diminati banyak orang ,sebuah pabrik kecil pun didirikan Haji Jamhari dan akhirnya banyak orang mengikuti jejaknya.
Seiring lahirnya industri kretek di kudus dan tersiarnya jenis rokok baru di berbagai daerah,mulai memasyarakat pula istilah “rokok” menggantikan ses dan udud.
















SEMOGA BERMANFAAT………..








sumber : cnnindonesia.com
              Pikatan.wordpress.com
              Cakkandar.painting.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar